Ghazinews.xyz - Sentimen anti-Muslim di masyarakat Barat telah mencapai tingkat yang tidak dapat diabaikan lagi, Wakil Menteri Luar Negeri Turki Yavuz Selim Kıran menyatakan pada hari Kamis (3/6), menggarisbawahi bahwa itu adalah ancaman yang tumbuh baik secara struktural dan sistematis ketika suasana politik di Eropa mencoba untuk menormalkan Islamofobia dan rasisme.
![]() |
Turki Memantau Iklim politik Eropa yang Tengah Mengatur Sentimen Islamofobia. (File photo Anadolu Agency) |
Subkomisi terkait meningkatnya rasisme serta Islamofobia di Eropa, yang dibentuk di bawah Komite Hak Asasi Manusia Parlemen Turki, bertemu pada Kamis di bawah ketua anggota parlemen Partai Keadilan dan Pembangunan (Partai AK) yang berkuasa Hakan avusoglu.
Pembahasan pada pertemuan tersebut, Kıran menggarisbawahi upaya melegitimasi praktik anti-Islam dengan alasan hukum di Eropa merupakan kesalahan besar untuk mempertimbangkan atau menghadirkan serangan rasis, xenofobia dan anti-Muslim sebagai tindakan individu.
Preseden sistematis dan hukum yang membuka jalan bagi kekerasan dan diskriminasi tidak dapat diabaikan, tambahnya.
Memberikan contoh tindakan dan serangan anti-Muslim dan xenofobia di negara-negara Barat, termaksud Prancis, Jerman, Austria dan Denmark, Kıran menyoroti fakta bahwa serangan-serangan ini memiliki dampak negatif yang signifikan terhadap kehidupan sehari-hari
dan politik, ekonomi serta sosial komunitas Turki dan Muslim dalam melangsungkan kegiatan di Eropa.
Mengekspresikan bahwa warga Turki, yang merupakan mayoritas Muslim di banyak negara Eropa, secara langsung dipengaruhi oleh diskriminasi sistematis dan menjadi sasaran langsung mereka.
"Kami tidak akan pernah membiarkan jutaan orang kami menderita karena kebijakan dan serangan Islamofobia dan rasis. Hari ini, Islamofobia telah mencapai tingkat yang tidak dapat diabaikan. Alih-alih masalah berkala, kita menghadapi ancaman yang berkembang secara struktural dan sistematis." Ucap Kıran
Kıran menjelaskan bahwa ujaran kebencian terhadap umat Islam telah memperoleh identitas institusional dan bahkan hukum, menunjuk pada fakta bahwa kehidupan individu dan sosial umat Islam di negara-negara Eropa Barat telah dijadikan subjek peraturan hukum khusus dan telah dibuat area diskriminatif dan restriktif. khusus terhadap umat Islam.
"Iklim politik mencoba untuk menormalkan Islamofobia dan rasisme, ujaran kebencian yang menargetkan Muslim dari pers arus utama hingga media sosial, dari meja sekolah hingga layar televisi diterima sebagai hal biasa, tidak mendapat reaksi. Hal tersebut bahkan terlihat aneh untuk bereaksi. Hak-hak dasar dan kebebasan umat Islam telah menjadi subyek polemik politik," ujarnya.
Menekankan bahwa hari ini, Eropa Barat telah berubah menjadi geografi di mana Islamofobia telah menyandera politik.
"Dalam waktu dekat ini, banyak negara Eropa mencoba untuk menciptakan Islam Eropa buatan. Islam Eropa ini mencoba untuk dilokalisasi sesuai dengan negaranya. Setiap negara sedang mencoba untuk meletakkannya di atas dasar hukum dan kelembagaan dengan interpretasi Islamnya sendiri, seperti Islam Belgia dan Islam Jerman. Dalam ucapan presiden kita, negara-negara Eropa tengah berlomba untuk membentuk Islam dengan cara mereka sendiri, disposisi." Imbuh Kıran.
Serangan rasis yang menargetkan Muslim atau imigran semakin menjadi topik berita utama disebabkan supremasi kulit putih menjadi lebih efisien pada zaman di mana cita-cita mereka, atau setidaknya sebagian dari mereka, menjadi arus utama.
Tidak ada satu pun kelompok besar yang mengatur serangan terhadap Muslim dan imigran. Sebaliknya, serangan individu menyebabkan banyaknya serangan peniru. Iklim politik yang toleran dengan dalih kebebasan berbicara telah membantu simpatisan sayap kanan dengan kecenderungan kekerasan yang memperluas dukungan mereka.
Presiden Recep Tayyip Erdogan pada waktu dekat telag memperingatkan terhadap munculnya Islamofobia dan sentimen anti-Muslim di negara-negara Barat saat ia memperingatkan bahwa beberapa negara saat ini secara terbuka merangkul gerakan politik sayap kanan dan Islamofobia serta kebijakan anti-Muslim.
Para pejabat Turki telah sering mendesak pembuat keputusan dan politisi Eropa untuk mengambil sikap menentang rasisme dan jenis diskriminasi lainnya yang telah menekan kehidupan jutaan orang yang tinggal di dalam perbatasan blok tersebut.
"Turki akan menyiapkan laporan tahunan tentang tindakan Islamofobia dan rasisme di negara lain," ungkap Menteri Luar Negeri Mevlut avusoglu pada awal tahun.
Erdogan pada bulan lalu telah menegaskan bahwa Islamofobia telah berubah menjadi salah satu instrumen yang digunakan oleh politisi Barat untuk menyembunyikan kegagalan mereka.
Meningkatnya tren Islamofobia, rasisme, dan xenofobia telah menjangkiti komunitas Turki yang tinggal di negara-negara Barat, khususnya di Eropa.
Jerman misalnya, telah mencatat kejahatan Islamofobia secara terpisah sejak 2017. Pada 2018, terdapat 910 insiden, termaksud 48 serangan di mesjid, sedikit lebih rendah dibandingkan 2017 dengan 1.095 kejahatan. Pada 2019, sekitar 871 serangan menargetkan komunitas Muslim Jerman, sementara data 2020 belum diumumkan.
Setiap hari sepanjang tahun 2019, sebuah masjid, lembaga Islam atau perwakilan agama di Jerman menjadi sasaran serangan anti-Muslim. Lebih dari 90 persen dari dalam kasus ini dikaitkan dengan kejahatan bermotif politik oleh sayap kanan.
Jerman merupakan rumah bagi 81 juta orang dan populasi Muslim terbesar kedua di Eropa Barat setelah Prancis. Hampir 4,7 juta Muslim di negara itu, setidaknya 3 juta merupakan keturunan Turki.
Islamofobia tengah disamarkan sebagai sekularisme di Prancis, ucap seorang pemimpin oposisi Prancis dalam kritik terhadap pemerintah yang dipimpin Emmanuel Macron, yang baru-baru ini mendapat kecaman sebab kebijakannya terhadap Muslim Prancis baru saja mengesahkan undang-undang anti-hijab.
Baru-baru ini, Austria juga tengah meningkatkan diskriminasi terhadap Muslim dengan terus mempromosikan peta Islam yang sangat kontroversial dan berbahaya yang menunjukkan poin-poin penting yang terkait dengan komunitas Muslim di negara tersebut. Muslim di seluruh Austria merasa terancam oleh publikasi alamat dan rincian lainnya pada peta tersebut di tengah berkembangnya Islamofobia di Austria, terutama setelah serangan di Wina November lalu.
Komunitas Agama Islam di Austria (IGGOE), mewakili kepentingan sekitar 800.000 Muslim di Austria, memperingatkan agar tidak menstigmatisasi Muslim yang tinggal di negara itu "sebagai potensi bahaya bagi masyarakat dan tatanan hukum demokratis di negara tersebut."
Sumber, Dailysabah.