Ghazinews.xyz - Merah, hitam, putih dan hijau berpadu menjadi corak warna bendera negara Palestina. Setelah Perang Enam Hari pada tahun 1967, Israel melarang pengibaran bendera Palestina beserta corak dengan warnanya belahan bumi Gaza serta Tepi Barat, bahkan dinyatakan tentara Israel akan menangkap atau melecehkan siapa pun yang mencoba mengibarkannya. Sebagai bentuk protes, dan perlawanan para aktivis justru membawa-bawa irisan buah semangka.
![]() |
Ternyata Semangka Menjadi Simbol Perlawanan Palestina Terhadap Israel |
Berdasarkan fakta yang ada, perintah militer dari pasukan Israel melarang hak berkumpul dan menpublikasikan yang berkaitan dengan masalah politik atau yang dapat diartikan sebagai politik, termaksud penyematan simbol-simbol negara Palestina.
Sebuah laporan pada media The New York Times dari Oktober 1993, beberapa minggu setelah penandatanganan Kesepakatan Oslo antara Israel dan Organisasi Pembebasan Palestina yang melahirkan Otoritas Palestina dan juga mencabut larangan bendera secara singkat merujuk pada penangkapan yang terkait dengan membawa buah semangka.
"Di Jalur Gaza, di mana para pemuda pernah ditangkap karena membawa irisan semangka dari buah semangka dengan demikian menampilkan warna merah, hitam dan hijau dari corak bendera negara Palestina tentara berdiri, saat prosesi berbaris dengan mengibarkan bendera yang pernah dilarang," kutip laporan pada makalah tersebut kemudian mencabut detailnya, menyatakan bahwa di sana mereka tidak dapat mengkonfirmasi insiden semangka.
Kisah lain melibatkan seniman Sliman Mansour, Nabil Anani dan Issam Badr, yang pamerannya di Galeri 79 pada tahun 1980 ditutup oleh tentara Israel sebab karya seni tersebut dianggap politis dan mengibarkan bendera Palestina beserta warnanya. Menghadapi petugas tersebut, Badar bertanya,
"Bagaimana jika saya hanya ingin melukis dan memberi warna pada lukisan semangka?, Mereka menjawab, Itu akan disita."
Mansour, saat ini telah berusia tujuh puluhan dan tinggal di Birzeit, mengingat detail kejadian tersebut, namun mengklarifikasi beberapa hal dengan detail kepada awak media The National . Ia ingat bahwa pameran di Galeri 79 dibuka hanya tiga jam sebelum tentara mengosongkan ruang dan menguncinya. Dua minggu kemudian, petugas Israel memanggil ketiga seniman tersebut, memperingatkan mereka untuk berhenti memproduksi lukisan politik, dan mungkin malah melukis bunga.
"Mereka bukan hanya memberi tahu kami bahwa mengecat bendera Palestina dilarang, bahkan corak warnanya juga dilarang. Jadi Issam berkata, bagaimana jika saya membuat bunga merah, hijau, hitam dan putih?, Seorang petugas keamanan Israel menjawab dengan emosi, 'Itu akan disita. Bahkan jika Anda mengecat semangka, itu akan disita.' Jadi semangka itu disebutkan langsung dan secara detail oleh perwira Israel," jelas Mansour.
Mansour menambahkan bahwa ia tidak mengingat seniman selama periode ini menggunakan semangka sebagai motif politik dalam karyanya.
Dalam beberapa hal, kebenaran narasi tersebut saat ini menjadi nomor dua, karena para seniman telah mengadopsi buah tersebut sebagai simbol perjuangan Palestina.
Contoh pertama dapat ditelusuri kembali ke Khaled Hourani, yang telah mendengar versi cerita Mansour dan melukis sepotong semangka untuk proyek Subjective Atlas of Palestine pada tahun 2007. Karyanya kemudian berkeliling dunia, termaksud Skotlandia, Prancis, Yordania, Lebanon hingga Mesir. Hourani juga mengadakan lokakarya seni yang berpusat di sekitar sekolah-sekolah di daerah Ramallah.
Dalam beberapa pekan terakhir, setelah kehancuran di Gaza, dukungan online untuk Palestina telah memperkuat percakapan seputar hak-hak Palestina dan pendudukan Israel selama puluhan tahun. Seiring dengan maraknya dukungan online, karya Hourani telah mendapat perhatian baru yang menurutnya luar biasa, dengan ratusan pesan berdatangan.
"Bagi saya, Hal itu hanya secara spontanitas. Ini hanya salah satu proyek saya, yang tidak sesukses atau tersebar luas seperti sekarang. Ini adalah jenis solidaritas yang unik, ini menimbulkan emosional yang sangat kuat. Sejujurnya saya tidak tahu bagaimana menghadapinya. Beberapa orang mendapatkannya sebagai tato, beberapa membuat pola untuk pakaian, menaruhnya di bendera, berbagai media. Saya senang bahwa ini membawa perhatian pada perjuangan Palestina. "
Sarah Hatahet, ilustrator Yordania yang tinggal di Abu Dhabi, telah membuat karya seni semangka sendiri setelah menemukan karya Hourani di media sosial. Yang lainnya, seperti Sami Boukhari, yang berdomisili di Jaffa, Aya Mobaydeen di Amman, Beesan Arafat di Inggris, juga menggambar kisah semangka dan membagikan karya seni mereka di media sosial.
Hourani menggambarkan dukungan untuk Palestina secara online, terutama dari generasi muda, sebagai bentuk keajaiban.
"Orang-orang di seluruh dunia berdiri dan menyatakan bahwa pendudukan atau penguasaan Israel harus segera diakhiri. Ini adalah momen bersejarah. Sebagai seniman, sebagai manusia, saya merasa terhormat bahwa karya saya digunakan sebagai alat atau bagian dari penggerak ini." Ungkapnya.
Perlawanan melalui seni memiliki sejarah panjang di Palestina, begitu pula serangan terhadap budaya Palestina tidak hanya dalam bentuk penyensoran, layaknya pelarangan simbol-simbol nasional, bahkan contoh-contoh penutupan, penyitaan, penangkapan, dan penghancuran yang lebih parah pada hasil karya seni.
Dalam insiden Galeri 79 yang diceritakan oleh Mansour, dia ingat bahwa dua lukisan telah hilang pada saat petugas Israel mengizinkan para seniman untuk kembali ke ruang melukis dan pameran tidak pernah dibuka kembali.
Contoh terbaru adalah penggerebekan Dar Yusuf Nasri Jacir untuk Seni dan Penelitian, atau Dar Jacir, di Bethlehem.
"Pada tahun 1970-an beberapa pusat seni di Ramallah juga dihancurkan oleh pasukan Israel. Apa yang mereka lakukan pada Dar Jacir bukanlah hal baru. Ini telah diulangi lagi dan lagi." Ujarnya
Mikdadi, yang telah mengatur beberapa pameran, termaksud pameran pertama Palestina untuk Venice Biennale pada 2009, saat mengajar di Universitas New York Abu Dhabi dan telah banyak menulis tentang seni Arab dan Palestina.
Ia mengungkapkan bahwa penargetan seniman serta ruang seni budaya adalah taktik yang digunakan oleh kekuatan Pendudukan atau warga Israel untuk menghapus identitas Palestina.
"Jelas mereka ingin merendahkan orang-orang Palestina, menjadikan mereka orang-orang tanpa budaya, tanpa masa lalu. Ini adalah budaya yang kaya yang sudah ada sejak berabad-abad yang lalu. Jadi bagi mereka, budaya adalah alat yang sangat berbahaya di tangan orang Palestina. Ini adalah media yang telah terbukti lebih berhasil daripada politisi dalam cara mereka mempengaruhi perubahan dengan cara terlihat di seluruh dunia."
Mansour juga memiliki pendapat yang sama akan hal tersebut.
"Beberapa orang bahkan menyangkal keberadaan kami, menyangkal budaya dan identitas Palestina, jadi seni perlawanan ini memberi rumah bagi para tunawisma," imbuhnya.
Karya senimannya, seperti lukisan Camel of Hardship tahun 1973 , termaksud yang paling dikenal dalam seni Arab, bersama dengan cara penggambarannya terkait petani dan wanita dalam pakaian tradisional.
Selama Intifadah Pertama, Mansour dan seniman lainnya memimpin gerakan Visi Baru, yang menjunjung tinggi gagasan kemandirian.
"Filosofi utama Intifadah Pertama ialah memboikot produk Israel dan mengandalkan diri kita sendiri,” katanya. Orang-orang menanam sayuran di kebun mereka agar tidak membeli apa pun dari Israel. Kami berpikir, mengapa kami tidak melakukan hal yang sama seperti itu ? Mengapa kita harus membeli cat dari toko-toko Israel dan kemudian menggunakannya untuk mengecat ?".
Ia beralih ke bahan seperti lumpur dan jerami, diikuti oleh seniman seperti Nabil Anani dan Tayseer Barakat, yang menggunakan pewarna nabati, dan bahan alami lainnya.
Saat ini, terlepas dari perampasan dan kehancuran, sebagian kecil kemajuan, mungkin, adalah perbincangan global yang diperbarui seputar pendudukan, dan dukungan yang tumbuh untuk Palestina yang diekspresikan oleh lembaga budaya di seluruh dunia.
Perihal ini termaksud selogan untuk solidaritas terhadap Palestina oleh The Mosaic Rooms di London, yang ditandatangani oleh seniman serta organisasi, serta dukungan Seni Visual untuk Palestina yang tengah berlangsung.
Pada hari Selasa, Asosiasi Dua Tahunan Internasional, di mana dewan direksi termaksud para pemimpin kunci dari Sharjah Biennial, Istanbul Biennial, Berlin Bienniale, Kochi Biennale Foundation dan Gwangju Biennale Foundation, juga telah memberikan pernyataan dukungan.
'Media sosial telah memberikan pengaruh yang sangat kuat, lebih dari ketika komunikasi dikendalikan oleh penjajah. Saat ini mereka tidak memiliki kendali atas hal tersebut," Mikdadi menjelaskan.
"Sebelumnya, suara orang Palestina hampir tidak pernah terdengar. Mereka diinterpretasikan oleh koresponden dan jurnalis. Saat ini adalah era komunikasi langsung secara, dan kecepatan penyebaran pesan-pesan ini ke seluruh dunia sangat fenomenal. Luar biasa bagi kami yang hidup di masa lalu.
"Dunia saat ini sangat terhubung, orang bisa melihat sendiri apa yang terjadi."
Sumber, The National, Palabroad.