Ghazinews.xyz - Pengadilan Israel telah menunda keputusannya atas banding yang telah diajukan oleh keluarga Palestina ketika harus menghadapi pemindahan paksa dari rumah dan tanah mereka di distrik Silwan di Yerusalem Timur yang diduduki ataupun dikuasai Israel secara paksa.
Banding tersebut terhadap putusan pengadilan Israel pada tahun 2020, telah menyetujui pengusiran tujuh keluarga Palestina agar pemukim Yahudi pindah ke distrik yang didominasi Arab, hal ini merupakan bagian dari kebijakan Israel untuk membangun rumah pemukim Isreal di Yerusalem Timur yang telah mereka duduki, bagi warga Palestina wilayah tersebut merupakan ibu kota dari Palestina.
"Kebijakan pengusiran paksa tersebut telah berlangsung selama beberapa dekade untuk mendorong masyarakat Palestina di lingkungan di Yerusalem Timur yang yang telah diduduki agar memberi jalan bagi pemukim Isreal" ucap Hoda Abdel-Hamid dari Al Jazeera.
Pasukan Israel dengan perlengkapan Militer turut hadir di depan pengadilan. Setidaknya satu warga Palestina, Qutaiba Odeh, ditangkap saat melakukan aksi protes di depan Pengadilan Israel. Odeh, merupakan ayah dari tiga anak yang tinggal di daerah al-Bustan pada distrik Silwan, juga telah menerima surat dengan perintah pembongkaran pada rumahnya.
"Pengadilan hakim Israel memutuskan untuk mengusir kami demi kepentingan para pemukim Israel yang didukung oleh Ateret Cohanim, sebuah organisasi pemukiman yang tugas utamanya ialah mengganti orang Palestina dengan orang Yahudi," ujar Kayed al-Rajabi, selaku kepala salah satu keluarga yang terkena dampak, kepada media Al Jazeera.
"Kami terusir dari rumah kami di Kota Tua Yerusalem pada tahun 1965 dan saat ini mereka ingin menggusur kami lagi."
Al-Rajabi mengungkapkan kepada para pemukim, mengklaim lingkungannya telah dimiliki oleh orang-orang Yahudi Yaman.
"Jika itu benar dan mereka ingin mengambil kembali rumahnya, maka kami juga ingin mendapatkan kembali rumah kami di Kota Tua," tuturnya.
Lebih dari 700.000 warga Palestina telah diusir dari rumah mereka oleh milisi Yahudi pada tahun 1948, ketika Israel mereka nyatakan sebagai negara merdeka. Ribuan orang Palestina terusir dalam Perang Enam Hari pada tahun 1967 saat itu Israel merebut Yerusalem Timur.
Distrik Silwan, merupakan rumah bagi sekitar 33.000 warga Palestina, terletak di luar tembok Kota Tua dan hampir 5 km (2,4 mil) dari lingkungan Syekh Jarrah di Yerusalem Timur yang juga telah diduduki atau dikuasai oleh Israel, di mana protes terhadap pengusiran yang direncanakan menyebabkan kekerasan Israel terhadap Palestina dan perang 11 hari di Gaza.
Sejak 1980-an, Israel telah memindahkan pemukim Yahudi ke lingkungan tersebut, dan saat ini beberapa ratus pemukim Israel tinggal di sana pada kompleks pemukiman yang sangat terlindungi, dengan mengorbankan keluarga Palestina yang mengungsi secara paksa.
Menurut Amnesty International, Ateret Cohanim telah berusaha dengan dukungan otoritas Israel untuk mengusir sekitar 100 keluarga Palestina dari daerah Batn al-Hawa pada distrik Silwan, mereka mengklaim bahwa tanah tersebut secara sah dimiliki oleh kepercayaan Yahudi yang aktif di daerah tersebut lebih dari 100 tahun yang lalu.
Sementara hukum Israel mengizinkan properti untuk ditransfer ke orang Yahudi, itu menyangkal hak yang sama untuk Palestina yang dirampas properti mereka setelah pembentukan negara pada tahun 1948.
"Orang Israel terus mengatakan bahwa mereka memiliki properti dan tanah," ucap Umm Raed, seorang wanita Palestina dari Batn al-Hawa pada distrik Silwan. Ia termaksud di antara mereka yang mengajukan banding terhadap pemindahan paksa.
"Saya dan keluarga saya telah menjalani seluruh hidup kami di rumah ini. Kami tidak punya tempat lain untuk dikunjungi dan kami akan ditinggalkan di jalanan. Serangan pemukim dan gangguan polisi Israel tidak pernah berhenti. Kami akan bertahan dan akan terus berjuang sampai kami mendapatkan hak kami." Ujarnya.
Wakil direktur Amnesty International untuk Timur Tengah dan Afrika Utara, Saleh Higazi memaparkan situasi tersebut adalah contoh lain dari kebijakan kriminal Israel atas pemindahan paksa warga Palestina.
"Selama bertahun-tahun Israel telah berusaha untuk memperluas permukiman ilegal di daerah Silwan, memaksa lebih dari 200 warga Palestina mengungsi dari rumah mereka," ungkap Hijazi.
"Dengan terus melanjutkan kasus pengadilan ini setelah protes atas rencana pengusiran di Sheikh Jarrah Yerusalem Timur yang diduduki Israel menciptakan gelombang kekerasan terbaru dan melanggengkan pelanggaran HAM sistematis yang sama terhadap orang-orang Palestina yang berakar dari kekerasan terbaru."
Pengusiran pada distrik Silwan serupa dengan penundaan putusan terhadap keluarga Palestina di Sheikh Jarrah, titik nyala yang mengakibatkan aksi harian yang dilakukan dengan kekerasan oleh pasukan keamanan Israel, yang menutup jalan tempat tinggal orang-orang Palestina yang menghadapi pengusiran.
Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA) menyatakan pengusiran yang tertunda adalah bagian dari undang-undang Israel, termaksud undang-undang khusus yang memfasilitasi pengambilalihan properti guna pendirian pemukiman Israel yang dianggap ilegal menurut hukum internasional.
Sebuah survei lanjutan pada tahun 2020 mengungkapkan bahwa setidaknya 218 rumah tangga Palestina di Yerusalem Timur telah mengajukan kasus penggusuran terhadap mereka, sebagian besar diprakarsai oleh organisasi pemukim Isreal, menempatkan 970 orang, termasuk 424 anak-anak, dalam risiko pengungsian.
"Mayoritas kasus baru teridentifikasi di daerah Batn al-Hawa pada distrik Silwan, yang tetap menjadi komunitas dengan jumlah orang tertinggi yang berisiko mengungsi, karena kasus penggusuran yang sedang berlangsung," ungkap perwakilan OCHA dalam sebuah pernyataan.
Aktivis dari distrik Silwan Fakri Abu Diab menyatakan kepada Al Jazeera bahwa jika tidak ada tindakan dari komunitas internasional dan kelompok hak asasi, ia yakin para pemukim pada akhirnya akan pindah karena pengadilan akan menunda putusan selama beberapa minggu.
"Hidup kami pada distrik Silwan bagaikan neraka. Terdapat korban atas tindakan Israel setiap malam, dan rumah-rumah menjadi sasaran tanpa pandang bulu. Anak laki-laki ditangkap. Kami hidup di tepi jurang tanpa tahu kapan kami akan kehilangan rumah kami."
Sumber, Al Jazeera.