Ghazinews.xyz - Pada tanggal 30 Mei 2020, Eyad al-Halaq yang berusia 31 tahun sedang dalam perjalanan ke sekolah kebutuhan khusus, Eyad menderita autisme parah dan, menurut orang tuanya, usia mentalnya delapan tahun.
![]() |
Mengenang Setahun Almarhum Eyad Pria Autis Palestina |
Sejauh ini tidak ada tuntutan resmi yang diajukan terhadap petugas polisi Israel yang telah melakukan tindakan di luar batas terhadap Eyad, sehingga kini Eyad telah tiada. Meskipun terdapat panggilan dari guru Eyad, Wardeh abu Hadid, yang menyaksikan kejadian tersebut, serta dari keluarga Eyad dan pengacara yang mewakili mereka. Investigasi oleh polisi Israel atas insiden tersebut tengah berlangsung.
"Eyad adalah Cahaya di rumah kami, dan sekarang rumah kami telah runtuh, sangat sunyi saat ini,” ucap ibunya, Rana (58), Rana yang dikenal oleh keluarga dan teman-temannya sebagai Umi Eyad (ibu Eyad) adalah pensiunan guru yang tinggal di rumah keluarga di Wadi al-Joz, sebuah lingkungan di Yerusalem Timur, bersama suaminya, Khairy, (36) tahun dan putrinya Jumana.
Mengetahui putranya tidak pernah bisa hidup mandiri sepenuhnya, namun Rana berharap dapat menemukan sekola untuk membangun masa depan bagi Eyad sendiri. Rana menghabiskan bertahun-tahun selama masa kanak-kanak Eyad untuk mencoba memberinya bantuan dan dukungan yang dia butuhkan.
"Saya berlari, mencari, ke segala arah untuk menemukan tempat agar Eyad bisa bersekolah," katanya.
Dia menemukan bahwa di Alwein, terdapat sekolah berkebutuhan khusus yang pernah ia ikuti selama lima tahun dan tempat dia belajar menjadi juru masak. Rana terdorong oleh kemajuan yang dibuatnya di sana.
Hari ini, ia masih berjuang untuk berbicara tentang Eyad. Sakitnya terlalu hebat. Duduk di ruang tamunya yang kecil, ia tampak lelah dan kewalahan berbicara dengan suara lemah dan tertatih.
"Eyad mengalami kesulitan berkomunikasi dengan orang lain dan membenci orang banyak," jelasnya.
"Ia terpaku pada cuci tangan dan tidak suka duduk diam. Ia lembut dan memiliki aura yang tidak memiliki kesalahan," ucapnya.
Eyad menyukai pujian. Seiring waktu, dia dapat membantu perkejaan di rumah, memindahkan barang-barang berat, melakukan pembersihan, membawa belanjaan menaiki tangga dan membantu pekerjaan rumah tangga.
"Kami biasa duduk bersama di depan pintu setiap hari. Saya akan mendengarkan, mengajari dia apa yang benar. Eyad meminta apresiasi. Dia sangat sadar bahwa dia tidak sama dengan orang lain. Dia memahami dengan baik penampilan orang yang mengasihinya, dan dia tahu orang yang menganggapnya kasar." Tutur Rina.
Rina juga menceritakan bahwa Eyad sangat pemalu, ketika dia pertama kali mulai besekolah di Alwein pada tahu 2016. Namun gurunya, Um Rami dan Wardeh, bekerja keras untuk mengembangkan kemampuannya untuk berkomunikasi dengan orang lain.
"Dia mencintai sekolah, pada waktunya, dia berprestasi sebagai asisten juru masak di sana. Pekerjaan dapur adalah hal yang paling dia nikmati, ia juga sangat suka menyiapkan hidangan nasi," kenang Rina Ibunya Eyad.
"Dia belajar bagaimana menyiapkan nasi, mengiris dan mengupas sayuran, dan tahu tentang semua bumbu."
Dapur sekolah buka pada pukul 6 pagi, dan Eyad akan selalu berada di sana tepat waktu. Begitu dia tiba, dia akan mengambil perbekalan yang dikirimkan oleh pemasok dan menumpuk di pintu masuk sekolah serta membawanya ke atas tangga pada dapur.
Sekitar tengah hari, makanan yang telah disiapkan Eyad dan siswa lainnya di bawah pengawasan Wardeh akan siap dibagikan ke lima sekolah di sekitar Yerusalem. Dapur masak menyiapkan 1.300 makanan setiap hari.
30 Mei 2020 adalah hari Sabtu. Eyad baru-baru ini merayakan ulang tahunnya dan berharap untuk memulai babak baru dalam hidupnya. Manar Zamamir, kepala sekolahnya, telah memberitahu Eyad beberapa bulan sebelumnya bahwa pelatihannya telah selesai dan bahwa dia akan mencarikan pekerjaan untuknya di sebuah restoran.
Dia akan memulai pekerjaannya lebih cepat, namun pandemi virus corona telah memaksa segalanya untuk ditutup. Bahkan sekolah kesayangannya ditutup selama beberapa bulan selama lockdown pada tahun 2020. Selama itu, ia menghabiskan waktunya dengan memasak di rumah dan berkebun. Aeonium adalah salah satu tanaman favoritnya, kenang ibunya.
Pagi-pagi sekali, Eyad bangun, berganti pakaian, dan meninggalkan rumah untuk berangkat ke sekolah jam 6 pagi seperti biasa. Di jalan keluar, dia membuang sampah. Biasanya, dia akan meminta Jumana, yang merupakan saudara perempuannya, untuk menyetujui pakaian pilihannya namun saat itu Jumana tengah tertidur.
Rana dan Khairy, pensiunan tukang batu berusia pertengahan 60-an, juga tertidur.
Sangat mudah berjalan kaki dari rumah ke sekolah paling lama 15 menit, jelas ibunya. Dia akan melewati stasiun pemadam kebakaran di Wadi al-Joz, menyeberang jalan dan berjalan ke selatan melalui jalan batu putih yang kasar ke Bab el-Asbat atau Gerbang Singa, pintu masuk timur ke Kota Tua. Tembok ikonik Kota Tua dan beberapa pohon zaitun akan berada di sebelah kanannya, dan pemakaman Muslim di sebelah kirinya.
Seperti biasa, terdapat beberapa petugas polisi Israel akan berada di pintu gerbang yang dekat dengan kompleks Masjid Al-Aqsa. Eyad sudah terbiasa melihat mereka di sana, dan seandainya dia pernah dihentikan (jarang sekali), dia selalu membawa tiga bentuk identifikasi untuk ditunjukkan dua di antaranya membuktikan autismenya.
Urutan kejadian yang tepat setelah dia tiba di Gerbang Singa masih belum jelas. Rekaman CCTV yang dirilis oleh polisi kepada pengacara petugas polisi yang sedang diselidiki beberapa minggu lalu menunjukkan Eyad berjalan di sepanjang St Mary's Street, bagian terakhir dari rutenya ke sekolah setelah memasuki gerbang. Sekolah itu hanya berjarak 150 meter dari gerbang ke Kota Tua.
Petugas polisi yang ditempatkan di Lion's Gate mengatakan setelah itu, dalam pernyataan resmi, bahwa mereka telah menerima peringatan pagi itu dari komando mereka bahwa seorang teroris bersenjata telah memasuki Kota Tua. Ketika mereka melihat Eyad lewat, dia menjadi tersangka.
Pada rekaman CCTV yang dirilis, kira-kira setengah jalan antara sekolah Alwein dan di mana petugas polisi berdiri, Eyad terlihat menoleh ke kiri dan ke kanan dan kemudian melihat ke belakang. Sesaat berikutnya, empat polisi muncul, mengejarnya. Eyad panik dan lari.
Wardeh, guru Eyad yang menyaksikan apa yang terjadi dan, masih trauma dengan kejadian hari itu. Dia baru saja kembali bekerja setelah konseling ekstensif. Dia terlalu trauma untuk berbicara dengan Al Jazeera secara langsung. Namun Warda justru menceritakan pengalamannya kepada Manar, Issa, Rana dan LSM HAM, B'Tselem.
2020 hingga B'Tselem yang mendokumentasikan insiden kekerasan polisi, dan dari apa yang dia ceritakan kepada Rana, kita tahu bahwa Wardeh hanya beberapa langkah di depan Eyad, berjalan menuju sekolah saat itu. Dalam kesaksiannya, Wardeh mengaku tidak mengetahui keberadaan Eyad di belakangnya. Tiba-tiba, dia mendengar keributan. Dia
berbalik dan melihat Eyad berlari ke arahnya. Kemudian dia mendengar suara detuman.
Menyadari bahaya yang dihadapi Eyad, Wardeh berteriak Nakheh nakheh (cacat)! dalam bahasa Ibrani, untuk memperingatkan para petugas bahwa pria yang mereka kejar ialah seseorang yang cacat.
Seorang pengumpul sampah yang sedang bekerja di dekatnya mengantar Wardeh ke ruang pengumpulan sampah kecil di sebelah halaman tempat sampah, agar dia bisa berlindung dari keributan tersebut. Beberapa detik kemudian, Eyad juga memasuki ruang sampah dan jatuh ke tanah dengan keadaan yang terluka dari setidaknya satu luka yang serius di kakinya, menurut Wardeh.
Omar Ailouni, seorang penjaga toko yang berada di dekat lokasi kejadian, mengatakan kemudian bahwa dia mendengar setidaknya dua tembakan tepat sebelum dia melihat Eyad berhasil masuk ke dalam ruang pengumpulan sampah.
Polisi segera mengikutinya, kemudian mengarahkan senpi ke Wardeh dan Eyad. Menurut Wardeh, pemungut sampah itu berdiri di samping.
Wardeh berteriak dalam bahasa Ibrani dan Arab, "Dia cacat!"
“Dimana senpinya? Dimana senpinya? " salah satu polisi berteriak kembali.
Wardeh mengatakan dia mencoba menjelaskan bahwa tidak ada senpi.
"Periksa ID-nya, periksa ID saya," pintanya.
Namun polisi Israel menghiraukan dan tidak mendengarkannya, beberapa saat kemudian tiga detuman terdengar di dalam ruang sampah yang lebarnya tidak lebih dari 2 meter itu. Eyad menerima tindakan kasar hingga akhirnya Eyad menjadi korban saat itu.
Wardeh menyatakan dia tidak bisa memastikan di mana dia dipukul, namun Wardeh berpikir itu ada di bagian tengah atau bagian bawah tubuhnya.
Mengalami shock, Wardeh sempat menelepon kepala sekolah, Manar Zamamiri.
"Kamu harus datang sekarang, Manar. Eyad terkena, ucapnya dengan tertatih dan berteriak kaget.
"Seorang polisi wanita memasuki ruang pengumpulan sampah dan menodongkan senpi," ucap Wardeh.
Menggeledahnya, sambil mengatakan bahwa dia sedang mencari senjata.
"Saya merasa hidup saya akan segera berakhir. Kesan yang pikirkan adalah mereka akan menjadikan saya korban sama seperti Eyad."
"Wardeh dibawa ke kantor polisi kecil dekat Lion's Gate, sementara Eyad dikeluarkan dari tempat kejadian sekitar satu jam kemudian. Di kantor polisi, jilbabnya dilepas oleh petugas perempuan dan digeledah kembali." Ucap Wardah.
Seorang polisi kemudian masuk ke kamar, dan bertanya kepada saya Apa yang terjadi? dia bertanya dalam bahasa Ibrani.
"Kamu telah melukai seorang pria cacat," tutur Wardeh padanya.
"Apakah kamu mengatakan yang sebenarnya?. Anda akan diinterogasi." Respon dari seorang polisi wanita tersebut.
Saat itu, Manar sudah memberi tahu direktur sekolah, Issam Jamal, apa yang terjadi. Keduanya tiba di kantor polisi Gerbang Singa sekitar jam 7 pagi. Manar diizinkan pergi bersama Wardeh untuk diinterogasi.
Sebelumnya ketika Wardeh dibawa ke kantor polisi, Manar menjelaskan, dia mendekati salah satu petugas di lokasi kejadian untuk menjelaskan bahwa dia adalah kepala sekolah dan bahwa Eyad adalah salah satu muridnya. Dia memberi tahu Al Jazeera bahwa polisi memerintahkannya untuk berdiri di dinding.
"Saya terus meminta mereka membawa ambulans, namun mereka menghiraukannya," tambahnya.
Dia dengan panik menelepon rumah Eyad, dan yang menjawab telepon adalah Jumana.
"Maafkan aku. Eyad terluka di kaki, itu saja yang dikatakan polisi kepada saya," ucap Manar padanya.
Pada saat orang tua Eyad tiba di Lion's Gate, menerima kabar bahwa putra mereka telah tiada sudah mulai beredar di media sosial.
Tidak dapat melihat Eyad atau berbicara dengan polisi, yang telah menutup area tersebut, Issam mengantar orang tua Eyad kembali ke rumah.
Mereka bingung dengan apa yang mereka lihat selanjutnya.
"Saya pulang dan terdapat banyak tentara. Tentara di mana-mana," ujar Rana.
Petugas polisi dan pasukan khusus telah tiba di kediaman Halaq untuk menggeledah barang-barang Eyad.
"Mereka menjungkirbalikkan rumah mereka ingin memberatkan Eyad," imbuh ibunya.
"Ketika Jumana dan Diana, saudara perempuan Eyad yang lain, merasa keberatan dengan penggeledahan tersebut, polisi memukul mereka dengan tongkat," tutur Rana.
"Saya mencoba turun tangan untuk melindungi putri saya, tetapi seorang polisi mendorong saya ke lantai."
"Mereka mengucapkan kata-kata paling kotor kepada kami dalam bahasa Arab," tambahnya.
Tidak ada yang ditemukan yang memberatkan Eyad, namun interogasi Wardeh berlanjut hingga sekitar tengah hari.
Saat itu, dia berada dalam kondisi syok yang parah dan dikirim ke fasilitas medis.
"Kami pergi ke klinik untuk menjaga Wardeh. Dia pingsan," ucap Manar.
Setelah Insiden tersebut, juru bicara polisi Israel Micky Rosenfeld menyatakan petugas melihat seorang tersangka dengan benda mencurigakan yang tampak seperti senpi. Mereka meminta dia untuk berhenti dan mulai mengejarnya dengan berjalan kaki, selama pengejaran tersebut petugas juga melukai tersangka.
Polisi Israel tidak menanggapi permintaan Al Jazeera untuk mengkonfirmasi kasus tersebut.
Oktober lalu, Machash sebuah unit yang menyelidiki kesalahan polisi di Israel mengumumkan akan mendakwa petugas yang melukai Eyad. Petugas belum disebutkan namanya. Pengumuman itu muncul setelah Khaled Zabarga, pengacara yang bertindak atas nama keluarga Eyad, mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi pada September 2020.
"Penundaan dalam mengambil keputusan itu disengaja dan tidak normal," ungkap Zabarga kepada Al Jazeera.
Dia mengatakan dia masih menunggu akses ke file tersangka petugas polisi, sehingga dia dapat meninjau materi polisi yang berkaitan dengan insiden tersebut.
Jaksa Agung masih mempersiapkan dakwaan terhadap polisi yang melepaskan tembakan yang menjadikan Eyad korban saat itu. Perihal tersebut sudah mengesampingkan mengambil tindakan terhadap komandan di tempat kejadian karena, ucapnya, dia memberi perintah untuk menghentikan SOP yang tidak ditaati. Zabarga memberi tahu Al Jazeera bahwa dia bermaksud untuk menantang keputusan ini.
Saya yakin polisi seharusnya bekerja lebih keras, lebih serius, lebih profesional, dan memiliki niat untuk membawa pelanggar ke pengadilan, mengingat kasus ini adalah kepentingan publik dan kejahatan yang melawati batas," tuturnya.
Di masa lalu, petugas polisi Israel telah menerima hukuman yang ringan karena melukai warga Palestina yang tidak yang tidak menimbulkan ancaman yang dapat dipercaya. Kasus remaja Palestina Nadim Nuwara, yang dilukai oleh petugas polisi perbatasan Ben Deri pada tahun 2014, adalah salah satu contohnya. Deri awalnya dijatuhi hukuman penjara sembilan bulan yang kemudian dua kali lipat. Dia dibebaskan karena tingkah laku yang baik setelah menjalani hukuman kurang dari setahun.
Keluarga Eyad menerima jenazahnya pada 31 Mei 2020. Dia sekarang terbaring di pemakaman al Mujahadeen di Yerusalem Timur.
Rana saat itu masih bertarung dengan rasa yang baru kehilangan putranya dan menemui terapis secara teratur.
"Dia meninggalkan kami dengan rasa sakit dan penderitaan," ujarnya.
"Saya tahu anak saya, jika mereka menghentikannya dan berbicara dengan baik, dia tidak akan melarikan diri."
Sumber, Al Jazeera.