Ghazinews.xyz - Selama perdebatan dalam waktu dekat perihal undang-undang Prancis, banyak tuduhan tertuju pada isu Islamofobia, cara undang-undang tersebut secara khusus menargetkan pemakaian jilbab mendapat kritik keras, terutama dari para wanita yang menyatakan bahwa memilih cara berpakaian adalah hak yang diberikan Tuhan kepada mereka.
![]() |
Jangan Sentuh Hijab Saya, Ungkapan dan Perjuangan Wanita di Prancis. |
RUU tersebut akan melarang seorang ibu mengenakan hijab (jilbab) saat menemani anak-anak mereka dalam perjalanan sekolah, larangan pemakaian burkini tertutup di kolam renang umum, dan melarang gadis di bawah umur menutupi wajah mereka atau mengenakan simbol agama di depan umum.
Menghadapi tantangan hukum tersebut, sejumlah perempuan Prancis memulai gerakan dengan bahasa yang membanjiri Media Sosail "jangan sentuh hijab saya."
Duygu Akin, yang memulai gerakan dengan wanita Muslim Prancis lainnya, mengukapkan kepada media Anadolu Agency perihal sikap dan hukum Islamofobia di negaranya.
Akin, (25) seorang wanita Muslim Perancis yang mengenakan jilbab, bersiap untuk memasuki dunia bisnis dengan gelar master di bidang keuangan yang akan datang.
Akin, yang tinggal di Strasbourg, menyatakan hijab di Prancis telah lama menjadi subyek kontroversi, dan telah dibesarkan lagi dan lagi.
Setelah seorang influencer media sosial Inggris menunjukkan penentangannya terhadap larangan hijab di Prancis dengan menulis “lepas hijab saya” di tangannya sendiri, Akin dan teman-temannya memutuskan untuk mengambil tindakan dan menerjemahkan frasa tersebut ke dalam bahasa Prancis.
“Kami menulis #pastoucheamonhijab (Jangan sentuh hijab saya) di tangan kami dan memposting foto di media sosial. Dengan dukungan mereka yang melihat pesan kami, gerakan kami meluas ke media, ” ujarnya.
Akin mengungkapkan, gerakan tersebut mendapat respon positif baik di Prancis maupun di luar negeri.
"Bahkan beberapa jurnalis bereaksi dengan heran tentang bagaimana jilbab menjadi masalah besar di Prancis bahkan selama pandemi COVID-19."
"Mengenakan jilbab selama pendidikan menghadapi banyak tantangan di Prancis, seraya menambahkan bahwa sekolah menengah melarangnya." Imbuhnya.
“Meskipun hanya perusahaan publik yang memiliki larangan (terang-terangan) terhadap jilbab, banyak perusahaan swasta tidak mempekerjakan perempuan yang mengenakan jilbab. Ini justru disebabkan adanya persepsi buruk tentang hijab di Prancis, ” tutur Akin.
"Sementara media Prancis menyiarkan tuduhan serius perihal wanita yang memakai jilbab, mereka tidak pernah diberi suara."
"Bersama dengan teman-teman saya kami memperjuangkan suara kami sendiri, kami menemukannya sendiri."
“Di Prancis, memilih dan mengamalkan suatu agama adalah kebebasan fundamental dan hak kami. Larangan tersebut sepenuhnya bertentangan dengan kebebasan kami. Kami warga Prancis yang berhijab menuntut kebebasan kami yang merupakan hak kami, ” imbuh Akin.
Akin memaparkan bahwa Prancis telah mendesak wanita untuk melepas jilbab dan mendapatkan kebebasan mereka sejak masa penjajahan di Aljazair.
Bahwa masyarakat di perkotaan seperti Strasbourg dengan populasi Muslim yang besar lebih terbiasa hidup bersama dan saling menghormati.
"Di beberapa daerah di mana tidak ada Muslim, Prancis sangat berprasangka buruk terhadap Muslim. Ini hanya karena mereka belajar tentang Islam dari media. "
Akin menjelaskan bahwa dia dan teman-temannya yang mengikuti gerakan PasToucheAMonHijab mulai menulis surat kepada anggota parlemen untuk menyatakan penolakan mereka terhadap larangan jilbab dan meminta dukungan mereka.
“Tujuan utama kami saat ini ialah memblokir RUU ini,” jelasnya.
“Tentu saja, ini tidak cukup, karena kami ingin mencegah jilbab terus-menerus dijadikan sebuah masalah. Meski RUU tersebut tidak disahkan, fakta bahwa jilbab selalu menjadi agenda menimbulkan persepsi buruk di benak masyarakat. Kami ingin melawan ini juga. ”
“Dalam beberapa tahun terakhir, jilbab dipilih sebagai pengganti kata simbol agama. Mereka secara khusus menunjukkan hal ini. Bukan sembarang simbol agama, hijab dilarang. Mereka menggunakan kata hijab, ”jelas Akin dengan tegas.
“Ini adalah masalah Islamofobia. Karena secara langsung menargetkan wanita Muslim yang memakai jilbab. "
Akin mengungkapkan Presiden Prancis Emmanuel Macron tidak memiliki masalah dengan hijab ketika dia pertama kali terpilih namun kemudian sikapnya berubah.
“Dia mendekati akhir masa jabatannya dan mencoba untuk mendapatkan suara dari sayap kanan. Selain itu, kami merasa wanita berhijab digunakan untuk menghindari pembicaraan tentang masalah nyata."
Akin mengatakan ia terkejut dengan perjuangan melawan hijab di Prancis, yang telah dilihat banyak orang di dunia sebagai negara kebebasan dan kesetaraan.
"Saya benar-benar merasa sangat sedih karena kami adalah warga negara Prancis yang dibesarkan di Prancis, dan sangat menyedihkan bahwa negara mengabaikan kami dan mengasingkan kami," jelasnya.
“Kami memberikan kontribusi kami selaku masyarakat, kami memiliki peran dalam kehidupan sosial. Kami tidak hanya ingin digunakan di media saat ada masalah. "
"Untuk pertama kalinya, wanita Muslim yang mengenakan jilbab menemukan suara mereka, hak untuk berbicara tentang masalah yang paling mempengaruhi mereka, sesuatu yang tidak mereka miliki sebelumnya," ungkap Akin.
“Ide utama di balik gerakan (jangan sentuh hijab saya) yang artinya menjelaskan secara tidak langsung maupun langsung (jangan sentuh kebebasan saya, keputusan saya),” desaknya.
Ditulis oleh Busra Nur Cakmak di Ankara
Sumber, Anadolu Agency.