Ghazinews.xyz - Usai melancarkan sejumlah kudeta semenjak Myanmar merdeka, junta militer masih tetap perkasa. Meski beberapa dekade lalu berbagai kecaman serta sanksi internasional menyerbu, junta militer tak juga bertekuk lutut.
![]() |
Junta-militer Myanmar dikenal bebal serta kebal akan sanksi. |
Jejak kekejaman militer Myanmar tersebut pun menghantui rakyat kala junta kembali ambil alih pemerintahan sipil pada 1 Februari lalu. Sekalipun komunitas internasional telah memberikan kecaman dan sanksi, junta-militer tetap bergeming.
Junta-militer Myanmar dikenal bebal serta kebal akan sanksi. Terlihat dari berbagai sanksi multilateral sejak 1988 hingga awal 2000-an tak juga melemahkan junta militer.
International Crisis Group dalam data laporannya menyebutkan pada akhir 2000-an, negara Barat mulai merasa sanksi tak memberi dampak pada junta, justru kian menyengsarakan rakyat Myanmar.
Kala militer kembali menggencarkan kudeta, sebagian pihak pesimis sebab merasa sejarah akan terus berulang. Namun, ada pula yang menganggap titik cerah mulai tampak sebab junta militer saat ini kian terimpit pada tekanan dari dalam dan luar negeri.
Berbicara perihal tekanan global, China dan Rusia akan eksis sebagai pihak yang selalu siap membela penguasa Myanmar.
Akan tetapi, beberapa pengamat mulai melihat manuver kedua negara tersebut. Contoh, Rusia pertama kalinya telah buka suara mengenai kekerasan militer terhadap demonstran antikudeta.
Jubir pemerintah Rusia, Dmitry Peskov, menyatakan bahwa meski negaranya memiliki hubungan erat terhadap Myanmar, bukan berarti mereka akan tinggal diam.
"Ini bukan berarti kami dapat menerima kejadian tragis yang terjadi di negara tersebut. Kami sangat khawatir dan menyayangkan atas peningkatan jumlah korban sipil," tutur Peskov usai menghadiri parade militer di Myanmar akhir pekan lalu.
Bahkan, sejumlah pengamat juga mulai melihat perubahan pergerakan China dalam langkah menjalin hubungan kepada Myanmar.
Ketika Dewan Keamanan PBB menggelar rapat darurat untuk merespons pergolakan di Myanmar Rabu (31/3), China memang pasang badan dan menekankan bahwa sanksi hanya akan menambah runyam keadaan.
Namun demikian, peneliti sekaligus Direktur Eksekutif Burma Human Rights Network (BHRN) yang berbasis di Inggris, Kyaw Win, tetap memantau pergerakan berbeda dari China dalam beberapa tahun belakangan.
"Sekarang, China punya banyak kepentingan di Myanmar serta tahu bahwa kepentingan tersebut tidak akan aman bila hanya dengan mendukung militer," ujar Kyaw kepada CNNIndonesia melalui sambungan daring telepon pada Kamis (1/4).
Kyaw lantas menjelaskan bahwa BHRN telah mencium indikasi China usai mendukung salah satu aliansi milisi etnis bersenjata di utara Myanmar yang dikenal dengan sebutan Northern Alliance alias Aliansi Utara.
"Kami memantau China juga mendukung milisi etnis di Myanmar, seperti Aliansi Utara yang sangat kuat. Mereka menyebar di segala penjuru dan mereka didukung China," imbuh Kyaw.
"Kedekatan" antara China dan Aliansi Utara terendus sejak sekitar 2016. Kala itu, Aliansi Utara melakukan gempuran balasan terhadap militer Myanmar di Muse, daerah perlintasan di perbatasan China dengan nilai perdagangan mencapai US$4 miliar per tahun.
Sebagaimana diliris VOA, Aliansi Utara kemudian mengambil alih Kota Mong Ko dalam beberapa pekan. Tuntutan mereka agar China mau memediasi proses perundingan damai.
Sejak China sepakat, sejumlah petinggi Aliansi Utara telah beberapa kali berkunjung ke Beijing. Kedua belah pihak pun dilaporkan mulai menjalin hubungan baik demi kepentingan negara masing-masing, meski China selalu membantah laporan ini.
Menurut Kyaw Min, Aliansi Utara tersebut memiliki kekuatan hebat, terutama karena formasinya diperkuat dengan empat kelompok milisi etnis yang besar.
"Milisi etnis tersebut sangat kuat dan mereka memiliki kekuatan sendiri. Mereka punya SDM, senjata, serta sumber daya lainnya sehingga dapat bertahan hingga 16-17 tahun sendiri," ucap Kyaw.