Ghazinewss.blogspot.com - Suriah : Rudal balistik Rusia membombardir wilayah Suriah barat laut yang berada dibawah kendali Turki pada hari Senin. Ankara pun bergegas mengkonfirmasi pemberitahuan pada Moskow untuk berhenti menembakan rudal balistik.
Serangan misil itu menyiagakan pasukan Turki yang berada pada wilayah Suriah tersebut. Serangan Rusia telah bertentangan dengan gencatan senjata yang disepakati Moskow dan Ankara pada Maret 2020, yang menurut para ahli hal ini akan dapat berdampak lebih luas.
Rudal-rudal balistik Moskow tersebut ditembakkan melalui pangkalan Kweyris di Aleppo dengan menargetkan kilang minyak yang berada di Suriah bawah laut tepat dibawah kendali Turki. Serangan itu adalah serangan kedua dalam sembilan hari.
Suriah sempat menandai satu dekade perang saudara, wilayah ini termaksud wilayah yang dianggap penting untuk menyediakan minyak bagi rumah tangga, petani, toko roti, juga bisnis lainnya.
Kilang ini biasa digunakan untuk dapat memurnikan sekitar 40 persen minyak mentah yang berasal dari wilayah yang dikendalikan oleh pasukan YPG Kurdi Suriah, yang sebagian besar dimanfaatkan untuk generator, pemanas, maupun mesin.
Beberapa pakar meyakini bahwa Rusia ingin mengonsolidasikan kepentingan geopolitiknya pada kawasan wilayah tersebut, sembari memperingatkan Ankara perihal kemungkinan pemulihan hubungan dengan Amerika Serikat (AS).
Namun, serangan tersebut akan mendorong Ankara untuk mencari sekutu perihal perselisihan apa pun terhadap Rusia.
"Pemerintahan (Presiden AS Joe) Biden harus menepati janjinya dan bekerja sama dengan kami untuk mengakhiri tragedi di Suriah dan melindungi demokrasi," ucap Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan kemarin, seperti dikutip Arab News, Selasa (16/3/2021).
Emre Ersen, pakar hubungan Turki-Rusia Universitas Marmara di Istanbul, mengatakan insiden yang terjadi baru - baru ini, sekali lagi telah menunjukkan rapuhnya keseimbangan geopolitik yang ada di Suriah, karena terjadi hanya selang beberapa hari setelah pertemuan antara para menteri luar negeri dari Turki, Rusia, dan Qatar membahas tentang solusi krisis di Suriah.
Pada 11 Maret, ketiga negara sepakat meluncurkan proses konsultasi trilateral baru untuk berkontribusi untuk memberikan solusi politik yang terbaik di Suriah.
“Ini juga mengingatkan semua orang bahwa sekalipun telah merajut hubungan khusus antara Ankara dan Moskow dalam beberapa tahun terakhir, perbedaan diantara mereka mengenai solusi konflik regional dapat dengan mudah memicu krisis baru dalam hubungan bilateral,” pungkas Ersen.
Menurut Ersen, ketegangan seperti hal tersebut juga dapat memengaruhi hasil negosiasi jet tempur Su-35 Rusia, meskipun Turki sejauh ini telah berusaha memilah-milah masalah demi menjaga hubungannya dengan Rusia.
“Kedua negara masih saling membutuhkan untuk mewujudkan tujuan mereka di Suriah. Itulah mengapa disebut 'perkawinan kenyamanan' Turki-Rusia di Suriah akan dipertahankan setidaknya dalam jangka pendek," jelasnya.
Navvar Saban, yang berasal dari Omran Center for Strategic Studies berbasis di Istanbul, mengungkapkan Rusia dan Turki masih memiliki front bersama di Idlib, Perisai Efrat, dan Suriah timur, dan masing-masing front memiliki karakteristik dan tujuan tersendiri.
Dia berpendapat bahwa serangan terbaru Rusia tersebut bertujuan untuk menguji seberapa besar keinginan Turki untuk maju dengan kepentingan menargetkan kilang-kilang tersebut.
"Ini termaksud pesan langsung untuk menunjukkan apa yang dapat mereka targetkan dan untuk memahami respon Turki," katanya.
“Perhial ini merupakan kesepakatan yang rapuh dalam berbagai bidang. Rusia memiliki keunggulan untuk saat ini dan Turki perlu mengirimkan pesan yang jelas dan langsung untuk menjaga keseimbangan kekuatan," paparnya.
“Rusia ingin Turki memastikan keamanan jalan raya M4 dan untuk melenyapkan kelompok ekstremis di daerah itu. Di sisi timur, Rusia menginginkan perjanjian gencatan senjata untuk mencegah Turki maju lagi di daerah itu," kata Saban.
Namun, adanya ketidaksepakatan antara para ahli mengenai sejauh mana Damaskus dapat melakukan upaya tindakan militer terhadap Turki secara independen dari Rusia.
Anton Mardasov, seorang sarjana non-residen pada program Middle East Institute’s Syria, tidak berpikir bahwa serangan rudal tersebut berkaitan dengan peringatan apa pun dari pihak Rusia.
"Serangan rudal terakhir adalah inisiatif independen oleh Damaskus," ucapnya.
“Pengamat luar terlalu membesar-besarkan pengaruh Rusia pada tentara Suriah,” tambah Mardasov.
Menurut Mardasov, Moskow tidak tertarik pada skandal baru yang terjadi atas Suriah.
“Hal utama bagi Moskow ialah menghilangkan beban ekonominya, jadi lebih memilih untuk bertindak secara diam-diam,” ujarnya.
“Damaskus tertarik pada PR (public relation) sebelum pemilu dan skandal baru untuk menyeret Rusia ke dalam rekonstruksi," ujarnya.
"Rusia tertarik untuk terus menguji kekuatan Turki, namun tidak dalam periode dekat ini."