Wednesday, 24 March 2021

Nyesak, Pengakuan Muslim Uighur Dipaksa Pisah Dengan Keluarganya

0
Ghazinews.xyz, Xinjiang - Upaya keras China terhadap Muslim Uighur dan etnis minoritas di Xinjiang dilaporkan memisahkan ribuan anak dari orangtuanya.

Ilustrasi Foto terpisahnya Keluarga yang dialami oleh Muslim Uighur di Xinjiang. 

Menurut pengalaman dua keluarga yang pernah tinggal di lokasi Xinjiang mengungkapkan bagaimana Pemerintah China memisahkan mereka dengan anak-anak mereka.

Keluarga Mamutjan dan Ablikim menyatakan beragam cara mereka tempuh agar bisa segera berkumpul dengan orang yang mereka dicintai.

Tahun 2015, istri Mamutjan, Muharem menggiring anak-anaknya dari Malaysia untuk dapat kembali di Xinjiang, China guna mendapat paspor baru.

Paspornya diperbarui pada tahun 2016, namun dikarenakan faktor finansial Muharem menundanya. Sampai pada tahun 2017 dokumen perjalanan dan anak-anaknya disita pihak berwenang.

Mereka justru terjebak dalam tindak kekerasan yang dilakukan pemerintah kepada minoritas Muslim di Xinjiang.

Mamutjan bercerita bahwa keluarganya yang beretnis Uighur tak dapat meninggalkan China, pada sisi lain dirinya berpotensi akan dipenjara ataupun ditahan apabila memaksakan diri untuk kembali ke Xinjiang.

Sebelum 15 April 2017, Mamutjan masih dapat berkomunikasi dengan istri dan anak-anaknya. Namun, di pertengahan April 2017 kabar sang istri menghilang dari aplikasi chatting China, WeChat.

"Saya mencoba menelepon ke rumah pada eso harinya, saat itu ibu saya mengabrkan saya bahwa istri saya telah pergi untuk waktu yang singkat. Alasan yang saya peroleh, ia mengikuti kursus belajar singkat. Saat itu saya menyadari bahwa ia telah ditahan."

Mei 2019, ia mendapatkan video anaknya yang diunggah pada media sosial. Dengan penuh semangat dan harapan berteriak, "Ibuku sudah lulus!"

Saat ini China tengah menghadapi sanksi internasional atas dugaan pelanggaran hak asasi manusia atas minoritas Muslim Uighur di Xinjiang.

China sendiri tanpa keraguan membantah dugaan pelanggaran HAM tersebut.

Klaim dari pihak Beijing, mereka menampung para Muslim Uighur di kamp pelatihan dengan tujuan guna memberikan edukasi lebih baik demi memberantas ekstremisme di Xinjiang.


Pemerintah China menyebut jika kamp yang ada di sana ialah guna pusat pelatihan kejuruan dan para tahanannya yang kerap mereka sebut sebagai pelajar.

Mamutjan yang kini tinggal di Adelaide, Australia mendapatkan bantuan dari tim CNN pada hari Minggu guna melacak keberadaan anaknya, Muhlise (10) yang ia ketahui terakhir kali berada di rumah kakek-neneknya dari pihak ayah Mamtujan yang menurut informasi ia berikan berada di kota Kashgar, selatan Xinjiang.

"Aku sangat merindukannya," kata Muhlise perihal ayahnya, seketika saat itu tangisnya pecah.

 Semenjak tahun 2017 lalu, ia sudah lost contact dengan ayahnya.

Dari Adelaide, Mamutjan terus menonton sebuah video, seketika ia kembali menahan dengan sekuat tenaga untuk menahan air matanya menetes.

"Saya tidak mengetahui pertumbuhan anak saya hingga sekarang, negara macam apa yang melakukan ini kepada orang-orang yang tidak bersalah, " keluh Mamutjan.

Perihal sang istri Mamutjan yang diduga telah dibebaskan sampai saat ini belum diketahui keberadaanya.

Menurut informasi yang diberikan melalui Muhlise, ibunya berada di rumah nenek yang lain. Namun saat dikonfirmasi oleh pihak CNN tak mendapat jejak apapun. Pihak berwenang China juga tidak menjawab ketika dimintai keterangan.

"Ibuku tidak ada di sini, dan ayahku juga tidak ada di sini. Aku ingin bertemu kembali dengan mereka," ucap Muhlise, mendengar ungkapan dari hati yang tulus itu neneknya seketika menangis.

Mamutjan meyakini pemerintah China memisahkan orang tua dari anak-anaknya sebagai bentuk mengintimidasian serta pengendalian kelompok minoritas Xinjiang.

Situasi yang dihadapi pada Keluarga yang lain, yakni Mamtinin Ablikim dan istrinya Mihriban Kader mengungkapkan mereka terpaksa melarikan diri dari Xinjiang setelah hamil anak keenam mereka.

Berdasarkan peraturan yang China terapkan di tahun 2017, setiap keluarga di kota Xinjiang hanya diizinkan memiliki dua anak, sementara yang berada di desa hanya diberi izin tiga anak.

Setiap ada kelahiran baru, ia mengaku menyuap dan membayar pejabat setempat. Namun mereka mengaku telah diberi peringatan.

Ablikim menyampaikan jika mereka tetap tinggal di Xinjiang istrinya akan dipaksa aborsi.

"Mereka pasti memenjarakan saya karena memiliki enam anak," katanya.

Hingga mereka berhasil mendapat visa turis ke Italia. Namun agen perjalanan mereka mengatakan kelima anaknya tidak mendapat visa. Hanya yang terkecil yang mendapatkan visa.

Setelah menetap di Italia, ia berharap bisa bertemu kembali dengan kelima anaknya.

Ketika tindakan kekerasan semakin masif di Xinjiang, Ablikim dan Mahriban mulai khawatir akan keberadaan anaknya.

Singkat cerita mereka ditolak sebab dokumen izin visa tak dikenali dan anak di bawah umur harus didampingi oleh orang dewasa. Mereka juga mengatakan saat ini keempat anaknya harus terdaftar di Beijing, dibawah isolasi penguncian perihal pandemi Covid-19 pada saat itu.

Sepupu yang membantunya dalam perjalanan akhir juga  kehilangan kontak dengan kelima anaknya.

Pada pusat kota Payzawat, sekitar satu jam perjalanan dari Kashgar. Dengan izin orang tua CNN berusaha menemukan keempat bersaudara, yang disinyalir tinggal di panti asuhan milik negara. Namun, pejabat setempat tidak mengizinkan tim untuk mengunjungi anak-anak tersebut.

Hingga pada akhirnya, CNN terhubung dengan Yehya, anak tertua kedua, melalui video call app WeChat, itupun dalam pengawasan ketat. 

Ketika ditanya apakah dia ingin bertemu kembali dengan orang tuanya, ia menjawab, "Saya bersedia."

Pada waktu dekat ini, anak mereka mengirim foto mereka yang tengah berdiri di depan kawat berduri. Gambar lain yang mereka kirim mewakili sebuah kata dalam bahasa China, "Ayah, Ibu, kami merindukanmu."
Author Image
AboutGhazinewss

Soratemplates is a blogger resources site is a provider of high quality blogger template with premium looking layout and robust design

No comments:

Post a Comment