Menurut Chief Executive CMA Andrea Coscelli, Google dan Facebook saat ini menguasai sekitar 80 persen pangsa pasar periklanan digital di Inggris.
Diperkirakan, nilai pasar yang dikuasai mencapai 14 miliar poundsterling atau Rp 279 triliun (kurs Rp 19.900), dan hal tersebut bukanlah sebuah situasi yang ideal untuk sebuah persaingan.
"Ketika perusahaan memiliki kekuatan ekonomi yang terlalu besar, hal tersebut memicu sejumlah distorsi, pertama untuk pesaing, kedua untuk konsumen, dan pada tingkat tertentu juga berimbas mempengaruhi proses berjalannya politik," kata Coscelli.
Coscelli mempaparkan, secara spesifik, Google memegang sekitar 90 persen kendali dari pasar iklan pencarian Inggris senilai 7,3 miliar poundsterling (setara Rp 145,7 triliun).
Sedang, Facebook saat ini memiliki lebih dari 50 persen pangsa pasar iklan internet (display ads) di Inggris sebesar 5,5 miliar poundsterling atau (setara Rp 109,7 triliun).
"Kami secara umum ingin melihat pasar yang lebih kompetitif dengan lebih banyak keberagaman pemain," lanjut Coscelli.
Menanggapi perihal tersebut, juru bicara Facebook menjelaskan bahwa para pengiklan sejatinya diberikan kebebasan menentukan platform yang mereka kehendaki untuk mengiklankan produknya. Seperti di radio, televisi, media cetak, ataupun online.
"Pada kasus periklanan online itu sendiri, kami menghadapi persaingan dari Google, Apple, Snap, Twitter dan Amazon, serta pendatang baru seperti TikTok, yang membuat kami tetap waspada," ucapJuru Bicara Facebook.
CMA mengatakan pada Desember lalu, pihaknya berencana untuk menerbitkan aturan baru untuk mengendalikan perilaku anti-persaingan.
Selain itu, regulasi tersebut juga ditujukan agar Facebook, Google dan perusahaan raksasa teknologi lainnya akan memberi konsumen kendali yang lebih besar terkait data-data mereka.
Namun, peraturan tersebut belum akan dirilis dalam waktu dekat, perencanaan matang diperhitungkan pada tahun 2022 mendatang.
Saat ini Google dan Facebook tengah menghadapi pengawasan ketat dari sejumlah otoritas di dunia.